DI JOGJA
Di Jogja kuayunkan langkahku
Di Jogja kusandarkan harapanku
Di Jogja kupancangkan asaku
Di Jogja kan kugapai anganku
Di Jogja kutahan pilu
Di Jogja kudiserang rindu
Di Jogja aku termangu
Di Jogja kusabar menunggu
Di Jogja kucoba mengadu
Di Jogja kukan terus maju
Solo, 18 Oktober 2008
Kris Budiyono
DESAKU
Sawah membentang
Hijau daun padi bergoyang
Burung terbang melayang
Angin bernyanyi riang
Sinar mentari terpancar
Menembus dedaunan segar
Seakan untaian permata
Sejukkan mata
Petani ayunkan langkah
Menuju pematang sawah
Nyanyikan kidung indah
Membuat hati tergugah
Warna kuning padi nan cerah
Hilangkan rasa gundah
Hapuskan rasa resah
Sirnakan sukma lelah
Kuning padiku
Kau impianku
Tuk penuhi segala keinginanku
Tuk hidupi masa depanku
Kris Budiyono
SUATU HARI DI PADANG AROFAH
Waktu bedug berlalu sudah
Saat wukuh dimulai sudah
Berjuta tangan mulai tengadah
Berjuta doa terucap tanpa patah
Tak terasa air mata berlinang
Basahi wajah tenang
Air mata berhenti sebentar
Mengalir lagi dengan gencar
Tubuh ini telanjang
Hati ini telanjang
Hidup ini telanjang
Semua dihadapan-Mu telanjang
Kurobek pintu ampun-Mu
Kuketuk pintu surga-Mu
Kusunting bidadari-Mu
Kujarah keridoan-Mu
Ya Allah...........kekasihku
Kusadari diri ini berlumpur dosa
Hati ini penuh lumpur noda
Namun, kalbu ini penuh asa
Ya Allah.......sesembahanku
Izinkan aku
Mohon ampun pada-Mu
Rengkuhlah aku dalam surga-Mu
Solo, 15 Oktober 2008
Kris Budiyono
20 ALASAN MENGAPA HARUS MENCINTAIMU
Aku butuh matahari untuk penghangat tubuhku
Aku butuh rembulan untuk menemani malamku
Aku butuh gelap untuk menutupi rahasia kita berdua
Aku butuh embun untuk mengobati dahaga
Aku butuh waktu untuk menunda
Aku butuh jam untuk segera bergegas
Aku butuh angin untuk saling menyapa
Aku butuh udara untuk membuatku lega
Aku butuh tangismu untuk memelukmu mesra
Aku butuh senyummu untuk membuatku berharga
Aku butuh gunung untuk saling mendaki
Aku butuh lembah untuk saling menuruni
Aku butuh sawahmu untuk kutanami
Aku butuh ladngmu untuk kualiri
Aku butuh kursi untuk kududuki
Aku butuh dinding untuk kusandari
Aku butuh selimut untuk melindungi tubuh dari dingin malam
Aku butuh ranjang untuk tempat kumenyelam
Aku butuh hutan lebatmu untuk kurambahi
Aku butuh gua untuk kumasuki setiap hari
Untuk berlindung ketika kulelah
Dari kejaran kebutuhan
Gunung Kidul, 15 Oktober 2008
Wahyudi
IZINKAN
Izinkan ku tuk selalu pulang dalam mimpi
Walau kini kau tlah tiada tak kembali
Menemuimu dalam kegelapan
Menemanimu dalam lamunan
Izinkan ku selalu membelaimu dalam bayangan
Memelukmu dalam kehilangan
Mengandeng tangan-tangan keterasingan
Berjalan berdua menyusuri ketaksadaran
Izinkan aku untuk bicara
Mengungkap masa lalu yang tak sempat kuungkap
Membuka lembaran peristiwa yang sobek
Menulis kembali lembaran baru yang telah sirna
Gunung Kidul, Oktober 2008
Wahyudi
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu…
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada…” (Kahlil Gibran)
READ MORE - PUISIKU
Di Jogja kuayunkan langkahku
Di Jogja kusandarkan harapanku
Di Jogja kupancangkan asaku
Di Jogja kan kugapai anganku
Di Jogja kutahan pilu
Di Jogja kudiserang rindu
Di Jogja aku termangu
Di Jogja kusabar menunggu
Di Jogja kucoba mengadu
Di Jogja kukan terus maju
Solo, 18 Oktober 2008
Kris Budiyono
DESAKU
Sawah membentang
Hijau daun padi bergoyang
Burung terbang melayang
Angin bernyanyi riang
Sinar mentari terpancar
Menembus dedaunan segar
Seakan untaian permata
Sejukkan mata
Petani ayunkan langkah
Menuju pematang sawah
Nyanyikan kidung indah
Membuat hati tergugah
Warna kuning padi nan cerah
Hilangkan rasa gundah
Hapuskan rasa resah
Sirnakan sukma lelah
Kuning padiku
Kau impianku
Tuk penuhi segala keinginanku
Tuk hidupi masa depanku
Kris Budiyono
SUATU HARI DI PADANG AROFAH
Waktu bedug berlalu sudah
Saat wukuh dimulai sudah
Berjuta tangan mulai tengadah
Berjuta doa terucap tanpa patah
Tak terasa air mata berlinang
Basahi wajah tenang
Air mata berhenti sebentar
Mengalir lagi dengan gencar
Tubuh ini telanjang
Hati ini telanjang
Hidup ini telanjang
Semua dihadapan-Mu telanjang
Kurobek pintu ampun-Mu
Kuketuk pintu surga-Mu
Kusunting bidadari-Mu
Kujarah keridoan-Mu
Ya Allah...........kekasihku
Kusadari diri ini berlumpur dosa
Hati ini penuh lumpur noda
Namun, kalbu ini penuh asa
Ya Allah.......sesembahanku
Izinkan aku
Mohon ampun pada-Mu
Rengkuhlah aku dalam surga-Mu
Solo, 15 Oktober 2008
Kris Budiyono
20 ALASAN MENGAPA HARUS MENCINTAIMU
Aku butuh matahari untuk penghangat tubuhku
Aku butuh rembulan untuk menemani malamku
Aku butuh gelap untuk menutupi rahasia kita berdua
Aku butuh embun untuk mengobati dahaga
Aku butuh waktu untuk menunda
Aku butuh jam untuk segera bergegas
Aku butuh angin untuk saling menyapa
Aku butuh udara untuk membuatku lega
Aku butuh tangismu untuk memelukmu mesra
Aku butuh senyummu untuk membuatku berharga
Aku butuh gunung untuk saling mendaki
Aku butuh lembah untuk saling menuruni
Aku butuh sawahmu untuk kutanami
Aku butuh ladngmu untuk kualiri
Aku butuh kursi untuk kududuki
Aku butuh dinding untuk kusandari
Aku butuh selimut untuk melindungi tubuh dari dingin malam
Aku butuh ranjang untuk tempat kumenyelam
Aku butuh hutan lebatmu untuk kurambahi
Aku butuh gua untuk kumasuki setiap hari
Untuk berlindung ketika kulelah
Dari kejaran kebutuhan
Gunung Kidul, 15 Oktober 2008
Wahyudi
IZINKAN
Izinkan ku tuk selalu pulang dalam mimpi
Walau kini kau tlah tiada tak kembali
Menemuimu dalam kegelapan
Menemanimu dalam lamunan
Izinkan ku selalu membelaimu dalam bayangan
Memelukmu dalam kehilangan
Mengandeng tangan-tangan keterasingan
Berjalan berdua menyusuri ketaksadaran
Izinkan aku untuk bicara
Mengungkap masa lalu yang tak sempat kuungkap
Membuka lembaran peristiwa yang sobek
Menulis kembali lembaran baru yang telah sirna
Gunung Kidul, Oktober 2008
Wahyudi
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu…
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada…” (Kahlil Gibran)